Langsung ke konten utama

Rasa Ini Lagi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNYj8vm0Klfrp3D1UwQCdjqZTx1aMzU3hLchT4Jq3spKuNfD9CeHCyNxXO1TDwcU_RraHJGjfLNlo6fiH3eO6oVNJchITJ4vEy67H39IWniEcHTRaWv0jK0U5A4GOgMttY__zGXtSP8C0E/s1600/puisi-rindu-buat-kekasih.jpg



 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya.

Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah.

Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu.

Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamarnya ini, tiba-tiba saja air matanya menetes. Andai saja Ia mempunyai keberanian untuk menyatakan semuanya, tetapi pada kenyataannya Ia terlalu takut, terlalu takut kalau saja nantinya Dia malah menjauh dari Ia. Dan jadilah seperti ini, ketika semua perhatian dan kasih sayangnya hanya membias saja di udara, karena tidak pernah sampai.

"Kamu apa kabar?" bisiknya sendiri.

Sisanya hanya hening, tak ada jawaban dari siapapun.

"Mari kita bercerita dari balik dunia kita masing-masing" nada suaranya semakin sendu.

"Setidaknya aku masih ada di dunia yang sama denganmu. Meski selalu ada jarak."

Hening lagi. Rupanya malam pun enggan untuk mengganggu kesedihannya.

"Semoga kamu selalu dalam keadaan yang baik. Aku masih sama, masih juga menyimpan rindu itu." Ia terdiam lagi untuk beberapa saat.

"Tidak, kamu tidak perlu tau semua ini, cukup aku saja. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, dan aku tidak layak. Ah itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah cepatlah menjadi seperti semula. Cepatlah sembuh, aku tidak bisa berbuat banyak selain mendoakanmu dari jauh. Semoga Tuhan senantiasa menjagamu."

Angin pun berhembus pelan. Dengan segera mampu menghapus jejak-jejak suaranya. Kini, suara itu sudah tak berjejak lagi, tinggal angan yang terlukis dalam kesatuan dunia yang tak kasat mata.

Komentar

  1. dalem dan ngena banget asli keren, "ia" hanya bisa membayangkan sedang bercengkrama dengan "Dia" kala rindu menusuk,,
    ngga bisa kasi komentar dah, memang kita beda aliran, but so perfect Ran :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, Iya Han,makasih ya udah menyempatkan diri membaca.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...