Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik.
Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada.
***
Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu.
Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing.
Lewat senja hari itu, aku mulai belajar mengenali diriku sendiri. Dunia ini teramat jahat, dan aku harus bertahan diatas kerapuhanku. Lalu kamu membisikkannya padaku. Sebuah kata yang dibawa oleh udara, "Bertahanlah seperti matahari senja ini, ia akan segera hilang ditelan oleh belahan bumi lain. Tetapi, ia masih mempunyai janji; bahwa ia akan datang lagi esok hari, dengan sinar yang lebih cerah". itu katamu dulu.
"Andai saja aku matahari." bisikku untuk laut.
"Kamu, tentu bisa menjadi lebih daripada matahari. Kamu hanya harus menjemput asamu kembali. Matahari itu, bahkan ia masih bisa memberikan sejuta keindahannya, disaat ia hampir musnah sesaat." katamu lagi lewat desiran ombak.
Andai kamu tahu, ketika manusia telah hilang dari bumi ini, maka ia tidak akan pernah kembali. Tidak akan pernah. Seberapapun manusia yang ditinggalkannya itu berharap, seberapapun besarnya harapannya, orang yang telah pergi itu tidak akan pernah kembali. Tidak akan mungkin kembali.
Dan kita masih terdiam. Lewat burung yang tengah berkelana itu, kau titipkan kembali senyum itu.
Pada senja selanjutnya, kita masih tetap berdua lagi. Masih tetap tanpa kata. Aku masih menunggu pesan dari angin, dari laut, dari awan, dari burung, dari pasir, dari semuanya yang ada diantara kita. Pesan yang kau selipkan secara rahasia, dan alam selalu berbaik hati menyampaikannya padaku.
Pada senja yang lain, kamu bercerita padaku lewat lembutnya pasir putih itu.
"Hidup itu berjalan sesuai dengan alurnya masing-masing. Tidak ada yang abadi. Yang telah pergi, biarlah ia melanjutkan jalannya sendiri. Dan yang masih tersisa disini, maka lanjutkanlah hidup seperti apa yang seharusnya terjadi. Hidup seperti seharusnya sebuah kehidupan yang lainnya. Bukan hidup yang tak hidup."
Ah, kamu memang selalu bersikap seolah-olah dewasa. Aku tersenyum kembali. Aku senang bersama kita meski masih saja membisu.
Aku tidak pernah menghitung berapa kali kita melewati senja seperti ini. Tidak terhitung mungkin. Entahlah, bagaimana bisa sebahagia ini meski dalam diam. Atau bahagia ini hanya semu. Atau yang sebenarnya tidak ada kata bahagia. Atau aku hanya berhalusinasi. Atau kamu.
Dan pada senja setelahnya lagi. Aku benar-benar tertidur dalam pelukan bunga yang dulu pernah kau bawakan untukku. Bersama kenyamanan yang seolah-olah nyata.
"Haruskah kamu seperti ini? Memenjarakan hidup dalam sebuah halusinasi. Sampai kapan kau buang hidup seperti ini?" Aku mendengarnya, suara itu nyata. Bukan lewat angin, ombak maupun pasir. Suara itu benar-benar nyata. Tetapi, itu... bukan milikmu suaramu.
Aku enggan membuka mata. Aku tahu itu bukan kamu. Maka biarlah aku tetap terlelap dalam pangkuanmu. Tetap seperti ini.
"Bangun, Juwita. Aku mohon, bangunlah."
Suara itu mengusikku lagi. Aku tidak mengenali suara itu. Tidak yang jelas itu bukan suaramu.
Lalu ada sesuatu yang mengguncang-guncang tubuhku untuk bangun. Memaksakan kesadaranku untuk kembali berfungsi.
Aku buka mata, perlahan. Orang yang membangunkanku berbicara panjang lebar padaku. Aku masih tak mengerti. Aku mencarimu, mencari dimana kamu berada. Sekejap tadi kamu memelukku. Dan sekarang kamu tak ada.
Lalu siapa orang yang dihadapanku sekarang? Aku tak mengenalnya. Demi Tuhan aku tak mengenalnya. Siapa dia? Dimana kamu? Apa ini batas kesadaranku sebenarnya? Apa ini yang sebenarnya nyata, dunia tanpa kamu.
"Sampai kapan akan kamu habiskan waktumu disini, sayang? Sampai kapan? Semua orang menunggumu kembali." ucap wanita itu. Seseorang yang tadi dengan sekejap membawaku ketempat ini.
Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak mengerti harus bagaimana menjawabnya.
"Kenapa kamu diam, Juwita? Tidakkah kau mengenali Ibumu ini?"
Wanita itu menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku tidak mengerti kenapa wanita ini harus menangis. Dan aku masih mencari keberadaanmu.
"Sayang, lihat Ibumu ini. Lihat mata Ibu."
Wanita itu berkali-kali memelukku, kemudian ia mengarahkan wajahku untuk menghadapnya, menatap matanya.
Mata itu berkaca-kaca. Ada kesenduan terlukis disana. Mata itu tidak asing, aku kenal mata itu. Tetapi ada yang berbeda. Mata itu sekarang begitu keruh, tidak sebening biasanya. Mata itu terlalu lelah. Ia terlalu banyak mengeluarkan air mata.
"Mama.." entah darimana, kata itu yang pertama kali muncul.
Ia memelukku, pelukan itu baru benar-benar terasa sekarang. Hangat. Nyaman.
"Ikhlaskan, Sayang. Ikhlaskan dia pergi."
Aku secara tiba-tiba melepaskan pelukannya.
Aku masih mencarimu, kamu tidak boleh pergi. Selama ini aku telah menunggumu. Sampai detik ini aku masih bertahan untuk menunggumu. Puluhan senja, ratusan. Aku bahkan masih bersamamu beberapa waktu lalu. Aku bahkan masih bisa merasakan harum bunga yang kau bawa tadi. Tidak mungkin kamu telah pergi. Tidak mungkin.
Aku berjalan gontai tanpa arah, mencarimu di sekeliling pantai ini.
Ia mengejarku, wanita itu mengejarku.
Kamu tidak kutemukan. Dan gelap sebentar lagi akan menguasai belahan bumi ini. Aku berbalik, menyempatkan diri melihat senyum matahari yang sebentar lagi akan menghilang.
Dan aku melihatmu di cakrawala sana. Kamu tersenyum, aku pun membalas senyum itu. Untuk yang terakhir kalinya pun kamu tetap tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Lalu kau menghilang begitu saja.
Aku lantas menjerit dengan sekuat tenaga. Melarangmu untuk pergi meninggalkanku. Aku ingin mengejarmu di cakrawala itu. Tapi aku hanya bisa menyentuh air laut.
Lalu wanita itu mencegahku, ia menyeretku keluar dari air. Aku memberontak, aku menolak sebisa mungkin. Hingga akhirnya aku terlepas dari kesadanku. Hanya ada dia bersemayam dalam jiwaku.
***
Aku tutup diary jingga itu. Setitik air mata itu jatuh. Harapanku masih tetap sama, hidup bahagia bersamamu. Selamanya.
Aku tidak pernah menyangka bahwa
berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan
berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik.
Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik.
Aku
masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih,
entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara
semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada.
Senja hari ini pun tetap ku persembahkan untukmu. Aku selalu berharap akan ada kehidupan lain yang akan menyatukan kisah kita.
Kamu, berbahagialah di tempatmu sekarang. Aku, cepat atau lambat akan segera menyusulmu. Tunggu aku.
Komentar
Posting Komentar