Langsung ke konten utama

Perempuan dan Akun Facebooknya

Tuhan, aku tahu manusia itu tempatnya salah dan dosa. Ya, kata orang itu memang kodratnya. Tetapi, apa iya setiap orang harus selalu salah. Apa tidak ada tempat bagi seseorang untuk sedikit menjadi benar. Oh tidak, jika benar itu berlebihan, setidaknya ada beberapa waktu untuknya agar menjadi orang baik.

Gadis itu asyik memainkan penanya pada sebuah daun yang jatuh di dekatnya. Dia adalah seorang gadis yang tidak suka banyak bicara, ia lebih suka mencurahkan isi hatinya lewat tulisan, meski baru kali ini ia menuliskannya di lembar daun-daun itu.

Biasanya, setiap kali ia merasa tidak baik, ia akan menuliskannya pada akun jejaring sosialnya. Tetapi, hari ini beda, ia malas berurusan dengan akun facebooknya itu. Dia bukan sosok orang yang setiap waktu meng-update statusnya, hanya disaat-saat tertentu disaat ia tak bisa lagi mengucapkannya dengan kata-kata. Lalu ia akan menuliskannya lewat facebook atau apa lah yang lainnya. Kata-kata yang mungkin sedikit sensitif itu tidak pernah bermaksud untuk apa pun, sederhana saja sebenarnya ia membutuhkan dukungaan dari orang lain, dan bukan sebaliknya.

Tetapi, tidak. Ia tidak akan menuliskannya lagi lewat status-status di facebooknya. Itu pun menurut orang lain masih tetap salah. Lalu apa lagi yang harus dilakukan gadis kecil itu? Kemerdekaan di jejaring sosial pun ia tetap tak bisa memilikinya.

Ia teringat sore itu.

"Apa sih maksud dari status-statusmu itu. Kamu itu harus tahu tempat dong, facebook itu bisa dibaca oleh ribuan orang. Hal yang sentimentil itu tidak perlu diumbar-umbar lewat facebook seperti itu. Aku jelas tahu apa yang kamu maksud dengan status itu."

"Aku hanya menulis mbak, apa yang aku rasa, tidak lebih" jawab gadis itu.

"Kamu tahu, apa yang kamu tulis itu untuk mengkritik kita kan? Ngomong secara langsung kenapa sih."

"Maaf mbak, ya mungkin saya memang salah."

 ****

"Siapa mengkritik siapa" ucap gadis itu pada dirinya sendiri. "Aku hanya bercerita, mungkin aku salah."

Tulisan itu hanya sebatas ini Ketika aku tampak bersemangat, aku kira yang lain tidak begitu.. Dan efeknya terlalu luar biasa.

 
Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu sederhana, dan cerita ini terlalu mendramatisir. Tetapi mungkin hati gadis itu terlalu sensitif. Dan kata-kata seperti itu pun cukup membuatnya bersedih.

Lalu sore ini ia telah selesai menuliskan unek-uneknya pada daun jambu kering yang tidak sengaja jatuh di dekatnya. Tidak untuk ia simpan, hanya sedikit membuang kesedihan. Setidaknya ia merasa lega, dan tidak menaruh hal yang negatif sedikitpun terhadap yang kemarin memarahinya.

Semuanya selesai. Biarkan saja daun itu terbaca oleh orang lain. Toh daun itu pun anonim. Tidak akan ada yang tahu, dan tidak akan menimbulkan masalah tentunya. Tulisan itu tujuannya memang untuk dibaca oleh orang lain

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Rasa Ini Lagi

 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya. Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah. Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu. Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamar...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...