Langsung ke konten utama

Berbicara "Cinta" #2

Kamu tahu? Pertemuan singkat malam itu menjadi goresan paling indah yang pernah terukir dalam kisah ini. Aku hanya berharap akan ada sesuatu yang indah bersamamu untuk selanjutnya, selanjutnya lagi, dan selanjutnya setelah seterusnya. Betapa pun itu, aku rasa tidak terlalu tinggi untuk hanya berharap mengenalmu. Semua orang berhak untuk diperlakukan sama, tak terkecuali aku untuk sama seperti semua orang yang mengenalmu.

Malam selanjutnya masih sama. Masih dengan tanah basah sisa hujan yang begitu deras sore harinya. Kamu tahu? Harum tanah basah ini menjadi moment yang serasa menempel dalam ingatanku, yang tentu saja mengingatkan semua tentang: kamu.

Lagi-lagi aku menunggu kamu di kursi taman ini. Sengaja menunggu, dan sudah menjadi tradisi. Hanya seolah-olah seperti tidak untukmu. Untuk menjaga kenyamananmu, untuk menjaga segala kebaikanmu. Jujur saja, kecenderunganku adalah merasa tidak layak untukmu. Meski aku mencintaimu. Tetapi cinta saja tidak cukup bukan? Dan aku mencoba mengerti.

Kamu tidak datang. Tentu saja. Kamu tidak setiap malam akan melaluiku disini, meski aku menunggu. Ditambah lagi hujan tadi sore menelan semua keramaian di tengah pemukiman ini, mengubahnya menjadi malam-malam yang mencekam.

"Ah tidak apa, kamu tidak harus melaluiku malam ini. Sisa ingatan malam kemarin masih cukup untuk mengisi catatan indah buku ini. Hanya saja, aku selalu menantikan catatan indah selanjutnya. Semoga saja Tuhan mengerti."

Seperti biasa, sebelum aku pergi, aku tidak pernah berhenti meninggalkan tanda: bahwa aku menunggu untukmu. Aku tidak tahu alasan kenapa aku harus meninggalkan jejak. Hanya saja aku selalu melakunnya. Kali ini jejak itu aku tinggalkan lewat daun jambu yang kebetulan berserakan di tanah basah ini. Semoga saja suatu saat tanda itu akan sampai padamu.

Aku pergi lagi, membawa keceriaan dan harapan yang sama seperti malam sebelumnya. Dan lewat tanda, aku tinggalkan daun bertuliskan namamu untukmu. Semoga alam pun bersuka cita menyampaikannya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Rasa Ini Lagi

 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya. Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah. Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu. Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamar...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...