Kamu tahu? Pertemuan singkat malam itu menjadi goresan paling indah yang pernah terukir dalam kisah ini. Aku hanya berharap akan ada sesuatu yang indah bersamamu untuk selanjutnya, selanjutnya lagi, dan selanjutnya setelah seterusnya. Betapa pun itu, aku rasa tidak terlalu tinggi untuk hanya berharap mengenalmu. Semua orang berhak untuk diperlakukan sama, tak terkecuali aku untuk sama seperti semua orang yang mengenalmu.
Malam selanjutnya masih sama. Masih dengan tanah basah sisa hujan yang begitu deras sore harinya. Kamu tahu? Harum tanah basah ini menjadi moment yang serasa menempel dalam ingatanku, yang tentu saja mengingatkan semua tentang: kamu.
Lagi-lagi aku menunggu kamu di kursi taman ini. Sengaja menunggu, dan sudah menjadi tradisi. Hanya seolah-olah seperti tidak untukmu. Untuk menjaga kenyamananmu, untuk menjaga segala kebaikanmu. Jujur saja, kecenderunganku adalah merasa tidak layak untukmu. Meski aku mencintaimu. Tetapi cinta saja tidak cukup bukan? Dan aku mencoba mengerti.
Kamu tidak datang. Tentu saja. Kamu tidak setiap malam akan melaluiku disini, meski aku menunggu. Ditambah lagi hujan tadi sore menelan semua keramaian di tengah pemukiman ini, mengubahnya menjadi malam-malam yang mencekam.
"Ah tidak apa, kamu tidak harus melaluiku malam ini. Sisa ingatan malam kemarin masih cukup untuk mengisi catatan indah buku ini. Hanya saja, aku selalu menantikan catatan indah selanjutnya. Semoga saja Tuhan mengerti."
Seperti biasa, sebelum aku pergi, aku tidak pernah berhenti meninggalkan tanda: bahwa aku menunggu untukmu. Aku tidak tahu alasan kenapa aku harus meninggalkan jejak. Hanya saja aku selalu melakunnya. Kali ini jejak itu aku tinggalkan lewat daun jambu yang kebetulan berserakan di tanah basah ini. Semoga saja suatu saat tanda itu akan sampai padamu.
Aku pergi lagi, membawa keceriaan dan harapan yang sama seperti malam sebelumnya. Dan lewat tanda, aku tinggalkan daun bertuliskan namamu untukmu. Semoga alam pun bersuka cita menyampaikannya.
Malam selanjutnya masih sama. Masih dengan tanah basah sisa hujan yang begitu deras sore harinya. Kamu tahu? Harum tanah basah ini menjadi moment yang serasa menempel dalam ingatanku, yang tentu saja mengingatkan semua tentang: kamu.
Lagi-lagi aku menunggu kamu di kursi taman ini. Sengaja menunggu, dan sudah menjadi tradisi. Hanya seolah-olah seperti tidak untukmu. Untuk menjaga kenyamananmu, untuk menjaga segala kebaikanmu. Jujur saja, kecenderunganku adalah merasa tidak layak untukmu. Meski aku mencintaimu. Tetapi cinta saja tidak cukup bukan? Dan aku mencoba mengerti.
Kamu tidak datang. Tentu saja. Kamu tidak setiap malam akan melaluiku disini, meski aku menunggu. Ditambah lagi hujan tadi sore menelan semua keramaian di tengah pemukiman ini, mengubahnya menjadi malam-malam yang mencekam.
"Ah tidak apa, kamu tidak harus melaluiku malam ini. Sisa ingatan malam kemarin masih cukup untuk mengisi catatan indah buku ini. Hanya saja, aku selalu menantikan catatan indah selanjutnya. Semoga saja Tuhan mengerti."
Seperti biasa, sebelum aku pergi, aku tidak pernah berhenti meninggalkan tanda: bahwa aku menunggu untukmu. Aku tidak tahu alasan kenapa aku harus meninggalkan jejak. Hanya saja aku selalu melakunnya. Kali ini jejak itu aku tinggalkan lewat daun jambu yang kebetulan berserakan di tanah basah ini. Semoga saja suatu saat tanda itu akan sampai padamu.
Aku pergi lagi, membawa keceriaan dan harapan yang sama seperti malam sebelumnya. Dan lewat tanda, aku tinggalkan daun bertuliskan namamu untukmu. Semoga alam pun bersuka cita menyampaikannya.
Komentar
Posting Komentar