Lelayu
Oleh: Ranti Alfiani
Pertunjukan drama ini bertempat di
sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan
lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan
sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin
yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga
tidak terlalu gelap.
SESEORANG
DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG
TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA.
Peristiwa
kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu
menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi,
kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun
tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa.
Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu
menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi
kenangan sering sekali meninggalkan jejak-jejak yang enggan untuk kita
lepaskan.
SESEORANG
ITU BERANJAK DARI DUDUKNYA, SEPERTI INGIN MENYAMPAIKAN SESUATU, NAMUN URUNG.
Dua
hari yang lalu, ada sebuah kecelakaan yang menyebabkan nyawa ayah teman saya
terenggut. Peristiwa yang kemudian menjadikan teman saya ini hampir gila karena
kehilangan ayah tercintanya. Waktu itu, banyak sekali tetangga yang datang ke
rumahnya. Jenazah telah disucikan, dan siap untuk dikuburkan. Anggota keluarga
berkali-kali histeris setiap melihat jenazah orang yang disayanginya itu.
Seperti tidak rela, namun tetap tak bisa menentang kuasa yang telah digariskan
olehNya. Selalu ada banyak kenangan yang enggan dilepaskan begitu saja, dan
mungkin itulah yang dirasakan oleh mereka saat ini.
LONCENG
ANGIN BERBUNYI PELAN, MENGIKUTI ALUNAN ANGIN YANG MEMBUNYIKANNYA
Peristiwa
itu kembali menarik saya masuk ke dalam kenangan saya sendiri. Tentang
bagaimana kehilangan sosok seorang ayah, tentang bagaimana harus terpaksa rela
ditinggalkannya, dan juga tentang bagaimana rasanya dipaksa untuk menyimpan
rapi segala kenangan yang pernah dilalui bersama. MENGHELA NAFAS PANJANG. Yah,
saya juga pernah mengalami peristiwa kehilangan yang hampir sama. Ayah saya
meninggal ketika saya berumur 6 tahun. Di usia sedini itu, saya belum
benar-benar bisa membedakan apakah itu makna meninggal, apakah itu pingsan,
atau apakah itu perpisahan. Saya hanya bisa bersikap mengikuti mereka yang
lebih dewasa, mereka yang saya anggap lebih tahu.
SESEORANG
ITU MENDEKATI LONCENG ANGIN. MEMBUNYIKANNYA, KEMUDIAN MENIKMATI SUARANYA.
Tapi
waktu itu saya tidak menangis seperti ibu saya, atau nenek saya, atau tante
saya. Saya memang belum mengerti, namun saya cukup tahu bahwa seseorang yang
terbujur kaku di hadapan saya ini sedang tidak baik. Ada sesuatu, dan karena
itu orang-orang di sekitar saya banyak yang menangis kemudian memeluk saya.
Tapi saya tetap tidak menangis, dan tidak boleh menangis juga.
Aku
kembali memandangi ayah saya yang kini sudah berganti busana. Aku memeluknya,
mengajaknya berbicara, namun tetap tanpa jawaban. Ayah saya tetap diam, dan
orang-orang di sekitar saya semakin terisak-isak. Mereka memeluk saya, lalu
menjelaskan kepadaku bahwa ayahku satu-satunya ini sudah meninggal. Seseorang
yang ada di hadapanku ini sudah tidak dapat lagi berbicara atau bahkan bergerak
sedikit pun. Aku mengerti, namun aku tetap saja tidak menangis, dan tepatnya
tidak berani menangis.
Waktu
itu saya tidak berani menangis, karena saya berpikir bahwa ketika saya
menangis, maka saya akan semakin memberatkan langkah ayah saya untuk menuju
dunia selanjutnya, yang entah seperti apa bentuknya. Beberapa waktu sebelum
ayah saya meninggal, saya pernah diberi tahu oleh guru ngaji saya bahwa
sesungguhnya menangisi kepergian seseorang yang memang sudah ditakdirkan untuk
pergi itu hanya akan memperberat langkah dia untuk menuju dunia selanjutnya.
Dan itulah mungkin yang membuat saya tidak menangis waktu itu. Saya hanya takut
ketika saya menangis, ayah saya akan lebih berat meninggalkan dunia yang sudah
bukan tempatnya ini.
AIR
MATA KEMBALI MEMENUHI KELOPAK MATA SESEORANG ITU. IA SEGERA MENGUSAPNYA SEBELUM
AIR MATA ITU SEMPAT MENETES.
Tapi
saya heran dengan manusia-manusia sekarang ini. Peristiwa kematian seperti yang
dialami keluarga teman saya yang sempat saya saksikan sendiri menjadi sebuah
peristiwa yang ganjil di mata saya. Waktu itu, saya menyaksikan sendiri banyak
orang yang datang melayat di rumah teman saya itu. Setelah selesai mengurus
jenazah ayah teman saya, mereka kemudian membentuk kelompok sendiri-sendiri.
Ada beberapa diantara mereka yang kemudian sibuk dengan obrolan baru seputar
entah apalah yang mereka nikmati dengan tertawa-tawa, ada juga beberapa lainnya
yang sedang risau dengan peristiwa mendadak yang menimpa keluarga teman saya
ini, dan ada pula kelompok yang seolah-olah simpati hanya untuk menampilkan
kesan seperti seharunya orang-orang ketika melayat. Saya heran kenapa semua
orang harus berpura-pura atau bahkan tidak peduli dengan kepura-puraan hanya
untuk menghormati perasaan orang lain.
Saya
juga heran dengan orang-orang di jaman yang sudah semakin gila seperti ini.
Beberapa tahun yang lalu, saya beruaha sekuat tenaga untuk memendam tangis yang
seharusnya tercurah untuk ayah saya. Tetapi saat ini, orang-orang malah takut
tidak ada yang menangisi ketika nanti Ia meninggal. Alhasil, orang-orang
seperti ini selalu bersikap seolah-olah dia baik, namun tidak pernah
benar-benar baik seperti seharusnya karena ada sesuatu dibalik apa yang ia
lakukan.
DUDUK
DENGAN PASRAH MELIHAT KENYATAAN YANG IA SIMPULKAN SENDIRI.
Hidup
di jaman seperti sekarang ini memang serba tidak jelas. Seseorang selalu
memainkan peran sesuai dengan topeng apa yang sedang mereka pakai. Siapapun
bisa saja menjadi dermawan meskipun pada kenyataannya berlawanan. Menjadi orang
baik seringkali distereotipkan sebagai berpura-pura. Orang jahat sendiri saat
ini lebih banyak jumlahnya, dan akan terus bertumbuh entah sampai kapan. Perbedaan
antara baik dan jahat, atau benar dan salah di jaman yang serba tidak jelas ini
juga semakin tidak dapat didefisinikan. Yang jelas adalah saat ini kita berada
di masa dimana hati nurani sudah tidak lagi hidup seperti seharusnya.
LONCENG
ANGIN KEMBALI BERBUNYI. MENGIKUTI ALUNAN ANGIN YANG MEMBELAINYA. MENGHASILKAN
RANGKAIAN IRAMA YANG SENDU, RISAU, SEKALIGUS DAMAI.
Ah,
sudahlah. Saya sedang tidak ingin bergumam sendiri mengenai orang lain atau
bahkan diriku sendiri. Saya sedang kehilangan, meskipun rasa itu begitu
terlambat. Saya akan merasa kehilangan setiap kali peristiwa yang sama yang
pernah menimpaku kembali menimpa orang lain. Kehilangan yang sebenarnya membuat
saya selalu dalam keadaan yang tidak pernah stabil. Tangis yang dulu saya
pendam ketika kematian ayah saya kini menjelma menjadi sebuah luka yang entah
sampai kapan akan sembuh. Luka yang akan selalu basah ketika peristiwa lain
kembali mengingatkan peristiwa yang telah berlalu beberapa waktu itu. Dan saya
selalu kembali pada situasi yang seperti ini, merindu sekaligus terluka, atas
sosok yang bahkan sudah tidak pernah jelas dalam ingatan saya bagaimana
rupanya.
LONCENG
ANGIN MASIH TETAP BERBUNYI PELAN. BERNYANYI DENGAN MERDU SEPERTI YANG
DIKEHENDAKI OLEH ANGIN, OLEH UDARA, ATAU OLEH APA PUN YANG MENYENTUHNYA.
Saya
selalu merindukan ayah yang entah sudah berapa lama meninggalkan saya. Sosok
yang sudah hilang dalam kehidupan saya itu tidak akan pernah terganti oleh
sosok lain yang berusaha menduduki posisi ayah saya. Peristiwa yang sudah
berlalu tidak mungkin terulang kembali dengan peristiwa baru setelahnya, dan
ayah saya masih dan akan tetap satu seperti seharusnya.
Ketika
saya sedang merasakan rindu seperti sekarang ini, ingatan saya memang tidak
pernah sampai pada bagaimana rupa ayah saya. Saya hanya dapat membayangkan Ia
yang entah dengan wujud seperti apa kembali menyapa dalam kehidupan sadar saya.
SESEORANG
KEMBALI MERENUNG, SEPERTI MENGAIS-NGAIS KEMBALI SISA KENANGAN DALAM OTAKNYA,
NAMUN TAK JUGA SAMPAI
Ah,
sudahlah. Aku tidak perlu kembali mengorek luka lama seperti ini, tidak ada
manusia satu pun yang akan mampu bertahan dengan jiwa telanjang seperti ini.
Tidak juga aku, kau, atau bahkan mereka semua yang menempati dunia yang fana
ini. (MENANGIS). Hey, buat apa menangis.. haha.. aku sudah lupa bagaimana
caranya untuk tidak menangis. (BERPIKIR). Hey, bukankan aku tadi menyuruh untuk
tidak menangis? Haha.. tampaknya aku seudah benar-benar gila sekarang. (kembali
berpikir) Tetapi bukankah menjadi orang gila lebih menyenangkan daripada
memiliki jiwa yang sehat? Haha.. tidak, tapi aku tidak ingin gila. Biarlah
rutinitas yang gila mempermainkanku, biarlah rasa sakit yang tidak pernah mampu
aku sembuhkan ini terus saja menyiksaku, biarlah. Haha.. Aku adalah boneka
takdir yang akan selalu dipermainkan tanpa dapat memainkan.. Haha
SESEORANG
ITU TERUS BERGUMAM TIDAK JELAS. PERISTIWA BERKABUNG MEMANG MENJADI PERISTIWA
BERULANG YANG AKAN KEMBALI MEMBUATNYA GILA. SECARA TIDAK SADAR, TANGIS YANG IA
PENDAM WAKTU KEMATIAN AYAHNYA DULU MENJADI SEMACAM LUKA YANG TIDAK PERNAH
SEMBUH SAMPAI SAAT INI. LONCENG ANGIN KEMBALI BERBUNYI DENGAN MERDU,
MENYAKITKAN SEKALIGUS MENDAMAIKAN. SESEORANG KEMUDIAN DUDUK KEMBALI DENGAN
TENANG, MENIKMATI SUARA LONCENG ANGIN YANG TENGAH DITERBANGKAN OLEH ANGIN.
Saya
hidup seperti lonceng angin ini, bagiku, ia selalu menjelma menjadi rasa-rasa
yang berlawanan. Bunyi yang ia hasilkan kadang seperti mewakilkan kesedihan,
namun juga menawarkan kedamaian. Dualitas yang sempurna, seperti kehidupan
manusia. Saya suka lonceng angin, karena ia mewakilkan apa yang tidak terungkap
oleh angin, oleh udara, atau apapun benda yang membunyikannya.
Yah,
tapi saya harus pergi. Bukankah teman saya sedang berkabung saat ini? Yah, saya
akan pergi, saya memang harus pergi untuk menguatkan hati teman saya.
(MONDAR-MANDIR, BINGUNG, PANIK). Haruskah saya pergi?
***SELESAI***
Komentar
Posting Komentar