Langsung ke konten utama

Ia Adalah Satu Tingkat Dibawah Dia

Sebenarnya Ia sendiri juga tidak mengerti dengan rasa yang selalu mengganggunya. Terkadang Ia terlalu putus asa untu membiarkan rasa itu untuk Dia. Terkadang Ia juga tak bisa membendung segala harapannya untuk Dia.

"Kebetulan" memang terkadang menyakitkan. Ketidaksengajaan bisa saja membuat seseorang berharap, terlalu berharap malah. Tetapi sebenarnya itu hanya sebatas kebetulan saja, dan tidak lebih. Sayangnya, Ia hanya mendapatkan tempat satu tingkat dibawah Dia. Ah, satu tingkat pun Ia dapatkan hanya dalam kebetulan semata, tidak pernah secara sengaja. Apakah itu takdir, atau hanya sangkut-paut yang dihubung-hubungkan?

Keterlaluan memang, jika Ia sudah berharap sampai sejuh ini, dan semuanya memang hanya sebatas maya. Lalu, siapa lagi yang akan menjaga perasaannya? Ketika yang paling Ia jaga pun tak pernah mengacuhkannya. Satu tingkat itu, adalah tempat dimana Ia tidak pernah berhenti memperhatikan Dia. Tidak perlu terlalu dekat, karena itu pun tidak mungkin Ia dapatkan. Ia cukup berada satu tingkat dibawahnya dengan setia menghapus segala jejak tentangnya.

"Bisakah aku memiliki senyum itu?" ucap Ia untuknya.

"Ah, sayangnya itu tak mungkin. Tempatku ada disini. Dan aku hanya sebatas bayang-bayang." imbuhnya lagi.

"Satu tingkat dibawahmu, aku rasa ini menyenangkan sekaligus menyedihkan. Ketika setiap jejakmu telah aku hapus, lalu aku sendiri meninggalkan jejak tentang bagaimana aku terlalu rindu kepadamu."

Lalu akan berujung kemanakah rasa yang Ia ciptakan untuk Dia? Ketika semua yang terjadi hanya sebatas kebetulan semata. Kebetulan yang akhirnya membuat Ia memendam harapan yang entah sia-sia atau tidak. Jarak antara Ia dan Dia hanya satu tingkat, namun itu pun tak lantas menjadikannya dekat. Suatu ketika, mungkin mereka bisa saling mencinta, lewat kotak imagine masing-masing. Harapan itu akan selalu ada, selanjutnya biarkan Tuhan yang menunjukkan apa yang terbaik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Rasa Ini Lagi

 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya. Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah. Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu. Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamar...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...