Langsung ke konten utama

Berbicara "Cinta" #4

Selanjutnya kamu pasti akan mengerti tantang semua ini. Jujur saja, aku lelah menyimpannya sendiri. Aku tahu aku tidak layak, tapi apa salahnya? toh semua orang mempunyai hak yang sama. Yah aku yakin itu.

Malam itu aku masih tetap berdiri, diam tanpa kata. Aku tidak menunggumu berbalik, tetapi aku pun tak bisa berjalan. Kau tahu? Dunia seperti berhenti, dan itu semua karenamu. Bukan karena terbuai karena cintamu, tetapi sebaliknya.

Saai itu pun tiba, kamu berbalik dan berjalan lagi kearahku. Sebelumnya kamu mencium kening wanita itu lalu melambaikan tangan kepadanya. Kamu bahagia. Ya, kamu memang bahagia, dan itu yang mungkin belum bisa aku terima.

"Bodoh, aku memang bodoh." Ucapku pada diri sendiri.

Ingin segera aku berbalik lantas pergi begitu saja. Tetapi tubuh ini seraya meminta penjelasan, agar tidak terus saja dibiarkan menunggu. Di sisi lain, semua terasa sudah begitu jelas. Namun, tetap saja. Lewat bahasa semua akan terasa lebih gamblang. Kemudian aku memilih mendengarnya dari mulutmu sendiri.

"Hei, Kiiara. Masih disini?" Sapamu lagi.

"Aku.. menunggumu." jawabku ragu.

"Oh, kamu menungguku? Senang sekali."

Hatiku menjerit pilu. 'Akankah kamu juga akan senang, ketika kamu tahu bahwa bahkan setiap hari aku selalu menunggu. Hanya menunggu untuk melihatmu. Tanpa pamrih apa pun. Lalu salahkah jika malam ini aku dengan lancang ingin menuntut kejelasan. Ah, sebenarnya semuanya memang sudah jelas. Wanita itu, Kamu. Semua adalah sebagian tanda yang menyatakan bahwa kamu telah bahagia, bersama wanita lain.'

Aku hanya tertunduk, dengan batin yang bergejolak.

"Kenapa diam, Kii? Ayo aku antarkan pulang."

Lalu kita berjalan berbarengan.

"Siapa wanita tadi, Ka?" tanyaku lirih.

"Oh, dia Devia, temen sekolahku."

"Kalian pasangan serasi."

 "Hehe, suatu saat kamu juga pasti akan menemukannya."

Aku tersenyum. Getir. Andai saja kamu tahu? Yang aku inginkan tidak pernah jauh: Kamu.

 Selanjutnya kita berjalan dengan diam. Pikiran kita melayang sesuai apa yang kita rasakan. Kamu, mungkin dengan sisa kebahagiaanmu bersamanya. Dan aku, Ah, apa artinya aku?

Dan semuanya selesai disini. Ketika hujan malam nanti akan menghapus semua jejak itu. Namun sisa-sisa, rasa itu mungkin akan bersemayam lebih lama.


--Selesai--

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Rasa Ini Lagi

 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya. Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah. Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu. Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamar...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...