Langsung ke konten utama

Sebuah Kisah



Cristian dan Annisa
Oleh : Ranti Alfiani

Sore ini, hujan turun dengan begitu derasnya. Langit sore yang harusnya cerah, kini hanya tertutup oleh awan-awan kelabu. Saat ini, Annisa tengah termenung dalam kamarnya. Duduk memandangi album lawasnya, kemudian khayalannya lari entah sampai kemana.
“Annisa, aku sayang sama kamu.” ungkap tulus Cristian, matanya menatap tepat pada manik mata Annisa.
Annisa masih sangat ingat bagaimana ekspressi Cristian pada waktu itu. Sorot matanya tampak begitu tulus, namun auranya memancarkan perasaan takut, cemas, dan juga lega. Semuanya bercampur menjadi satu yang kemudian tampak begitu aneh di wajah Cristian. Kejadian itu sudah berlalu cukup lama, tetapi masih begitu jelas dalam ingatan Annisa.
Bermula pada dua tahun yang lalu, saat Annisa dan Cristian masih duduk di bangku kelas tiga SMA. Saat pergantian jam, Cristian menggandeng tangan Annisa keluar dari kelas terkahir, yaitu kelas matematika. Salah satu mata pelajaran yang paling dibenci Cristian. Annisa terang-terangan menolak ajakan Cristian untuk membolos. Tentu saja Annisa menolak, selama ini Annisa memang terkenal sebagai murid baik-baik, berbeda dengan Cristian yang selalu bertingkah sesuka hatinya. Belum lagi Annisa selalu juara umum di sekolahnya. Membolos bisa jadi tak akan pernah dilakukannya.
Tetapi kali ini berbeda, Annisa tidak akan pernah bisa membiarkan sahabatnya (sekaligus orang yang dicintainya) itu terus memohon. Annisa merasa tak tega. Akhirnya dengan setengah hati Annisa menyetujuinya. Terkadang cinta memang selalu bisa dengan cepat merubah sikap seseorang.
Dengan sedikit terpaksa Annisa mengikuti Cristian menuju belakang sekolah. Melewati taman kecil di belakang sekolah. Dan, Astaga! Sepertinya Annisa tahu tempat tujuan Cristian.
“Mau kemana sih?” tanya Annisa sebal.
“Udah, ikut aja.” Jawab singkat Cristian dengan terus menggandeng tangan Annisa.
“Jangan bilang mau ke gudang itu.” ancam Annisa. Gudang itu memang tampak gelap, kotor dan sangat tidak rapi. Mungkin juga gudang itu “berpenghuni”. Gudang itu tampak menyeramkan.
“Udah, tenang aja. Nggak ada apa-apa kok. Gudangnya udah aku beresin.” Bujuk Cristian.
Lagi-lagi Annisa hanya mengalah. Mereka berjalan memasuki gudang itu. Bagaimana mungkin Cristian sempat membersihkan tempat ini. Huh, menyebalkan. Umpat Annisa dalam hati.
Setela sampai di gudang, sepertinya perkataan Cristian benar. Gudang itu tampak sedikit rapi dari apa yang tadinya dipikirkan Annisa. Ditengah-tengah ruangan itu terdapat tempat kosong dengan alas tikar. Bahkan ada satu set permainan monopoli lengkap dengan cemilan dan dua botol air mineral disana. Sepertinya Cristian memang tidak bohong soal menyiapkan tempat ini. Batin Annisa dalam hati.
Kemudian dengan cepat mereka memulai permainan monopoli itu. Annisa memang sangat menyukai permainan ini. Dan bisa ditebak, Annisalah yang akan memenangkan permainan ini.
Setelah beberapa menit bermain, Annisa tertawa puas melihat patung milik Cristian terkurung lama dalam penjara. Sementara patung miliknya bebas berkelana dan telah membeli beberapa negara dan mendirikan hotel. Annisa sengaja memilih negara-negara yang pajaknya mahal, supaya bisa menjebak Cristian untuk membayar pajak ketika kebetulan singah di negaranya.
“Hahaha. Bagaimana Cris, masih betah aja jadi penghuni penjara.” ledek Annisa. Wajah Annisa begitu manis, dengan tawanya yang mengembang indah di wajahnya.
Cristian sangat senang melihat Annisa seperti ini. Sosok seseorang yang dicintainya sedang tertawa lepas tepat di hadapannya. “Ah, kamu curang. Masak aku harus dapet dadu bermata kembar dulu baru bisa keluar sih. Mana ada aturan kayak gitu.” Bela Cristian.
Annisa pun hanya menjawabnya dengan tertawa.
Obrolan mereka berlanjut ngalor-ngidul. Berganti-ganti topik pembicaraan sambil sesekali terdengar Annisa tengah mengejek Cristian yang pailit karena terlalu banyak membayar pajak di negara milik Annisa. Hingga pada akhirnya, obrolan tersebut berujung pada pengakuan singkat Cristian. “Annisa, aku sayang sama kamu.”
***
Annisa tersenyum mengingat hal itu. Semuanya begitu indah dan lucu. Orang pertama yang dicintainya akhirnya mengatakan cinta kepadanya. Bukan di sebuah taman yang indah, bukan juga di tepi pantai sambil melihat sunset, atau tempat-tempat romantis lainnya. Melainkan hanya dalam sebuah gudang, gudang yang penuh dengan meja-kursi yang telah rusak dan sedikit kotor.
Satu tahun, dua tahun, hubungan mereka berlalu dengan baik. Tidak pernah ada permasalahan besar yang mereka hadapi. Hanya sesekali bertengkar kecil. Itu pun hanya bertahan satu malam. Paginya mereka bahkan lupa kalau mereka sempat bertengkar sebelumnya.
Senyum Annisa seketika menghilang saat mengingat kejadian beberapa hari lalu. Sejenak ia mengamati keadaan sekeliling. Berusaha mengalihkan ingatannya akan kejadian pahit itu. Tetapi, ternyata alam pun belum berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya. Waktu telah sampai pada batas senja, namun tak ada semburat oranye di langit barat, semuanya hitam tertutup oleh awan mendung.
Suasana sore ini begitu menyebalkan. Senja tengah bersekongkol dengan hujan. Menciptakan suasana yang teramat sepi bagi Annisa, yang mau tak mau membuat Annisa memikirkan kejadian pagi itu.
Pagi itu, semua anggota keluarga Annisa sarapan bersama seperti biasa. Bersama Mama, Papa, dan Fatir, adik Annisa. Seperti biasa juga Papa berangkat ke kantor sambil mengantar Fatir ke sekolah. Adik Annisa baru duduk di kelas dua SMA.
Setelah itu, hanya ada Annisa dan Mama.
“Nisa, siapa sih lelaki yang sering antar jemput kamu ke kampus. Kok nggak dikenalin sama Mama.” tanya Mama membuka percakapan.
Alis Annisa mengernyit. Hubungan mereka memang tidak diketehui oleh kedua keluarga mereka. “Temen sejak SMA, Ma.” jawab Annisa singkat.
Jawaban singkat itu membuat Mama Annisa merasa tidak puas. Mama memang penasaran dengan hubungan anak sulungnya itu. Bagaimana mungkin mereka hanya berteman? Hubungan mereka terlihat begitu dekat. Tanya Mama Annisa dalam hati.
Mama terus mendesak Annisa untuk bercerita. Dan pada akhirnya, Annisa mengalah dan menceritakan perihal hubungan mereka yang selama ini ditutupinya dari orang tuanya.
“Tidak, Annisa. Dua tahun? Kalian tidak boleh melanjutkan hubungan itu.” ucap Mama setengah membentak.
“Tapi Ma, Annisa mencintianya.”
Mama menghela nafas panjang, berusaha untuk mengatur emosinya. “Nisa, Mama dan Papa selama ini berusaha mendidikmu dengan benar. Hubungan semacam itu dilarang oleh Agama kita. Seharusnya kamu tahu itu.”
“Mama, Nisa... Nisa hanya jatuh cinta, Ma.”
“Tapi, kamu bisa mencintai orang lain selain Cristian, kan?” ucap Mama tegas.
“Seandainya Nisa bisa mencintai orang lain, Annisa akan lakuin itu, Ma. Annisa akan lakuin itu daripada Annisa harus membuat Mama marah seperti ini. Tapi, Ma. Nisa... Nisa benar-benar nggak bisa ngelakuin itu.” Air mata mulai menetes di pipi Annisa.
“Annisa, dengerin Mama. Annisa harus ngelupain dia.” ucap Mama lembut sambil membelai rambut Annisa.
“Tidak, Ma. Annisa nggak bisa.” jawab Annisa.
“Tapi hubungan kalian salah, sayang.”
“Annisa nggak akan ngelakuin itu, Ma.” Annisa menyeka air matanya.
“Sayang, ok Mama mengerti bagaimana perasaanmu. Walau bagaimanapun kamu telah berhubungan dengannya selama ini, bahkan sampai dua tahun. Tetapi sayang, kalian itu berbeda, sampai kapan pun Mama sama Papa nggak akan merestui hubungan kalian.”
“Tidak! Mama tidak mengerti bagaimana perasaan Annisa.”
“Sayang, Mama sangat mengerti. Sebelum kamu terlalu jauh menjalani hubugan itu, lebih baik selesaikan dari sekarang. Meskipun dilanjutkan, hubungan kalian tetap sia-sia, sayang.”
“Mama, lalu bagaimana denganku? Aku mencintainya, Ma. Annisa sangat mencintai Cristian.”
“Sayang, suatu saat nanti cinta itu pasti akan datang lagi untukmu. Cinta yang lebih baik. Cinta yang diridhoi oleh Allah.”
Annisa hanya diam.
Sejak awal Annisa memang tahu bahwa sampai kapan pun mereka tidak akan pernah mungkin bersatu. Seberapa besar mereka saling mencintai, nama “Critian & Annisa” mungkin tidak akan cocok tertera dalam surat undangan. Perbedaan itu terlalu jauh. Tetapi, saat ini Annisa memang benar-benar mencintai Cristian. Dan itulah masalahnya.
“Annisa sayang, kalau kamu memang benar-benar mencintainya. Ok, Mama akan merestui hubungan kalian asalkan Cristian masuk Islam.”
“Tapi, Ma. Itu tidak mungkin.” Jawab Annisa.
“Karna itu sayang, buat apa tetap menjalani hubungan yang sia-sia itu. Lebih baik, sudahi saja semuanya.”
Annisa terlihat tetap keukeuh dengan pendiriannya. Mama lagi-lagi menghela napas panjang. Mencoba mencari cara untuk merayu putrinya. “Sayang, Annisa sayang kan sama Mama, sama Papa, dan sama Fatir?”
“Maksud Mama?”
“Annisa nggak bakal ninggalin kami demi Cristian kan? Cintamu yang bahkan tidak direstui oleh Allah.”
Annisa tersedak mendengar perkataan itu. Keluarganya yang selama ini dicintainya, tidak mungkin Annisa meninggalkannya. Tetapi Cristian, Annisa juga sangat mencintai Cristian.
Pilihan itu benar-benar membingungkan. Annisa tidak mungkin bisa memilih satu diantara mereka. Dan pada akhirnya, Annisa memang tidak memilih satu diantara mereka. Annisa memilih keluarganya; Mama, Papa, dan Adiknya.
***
Tetapi sore ini, Annisa seakan-akan menyesali pilihannya. Tiga hari telah berlalu sejak kejadian itu. Tetapi, Annisa masih tetap menangis menyadari bahwa dia telah memutuskan Cristian.
Entahlah. Yang jelas sekarang Annisa telah berpisah dengan Cristian. Hal yang sangat tidak ingin dilakukannya. Dua tahun mereka telah bersama-sama. Berusaha membangun sebuah hubungan yang harmonis. Tetapi kali ini bangunan itu runtuh dengan seketika. Hanya karena mereka berbeda Agama. Benar-benar menyakitkan. Dan kenyataan itu mau tidak mau harus diterima oleh mereka.
Perbedaan itu seperti sebuah harmoni lagu kehidupan. Sebuah lagu yang disusun dengan tangga nada yang berbeda, akan menghasilkan sebuah harmoni lagu yang indah. Sebaliknya, sebuah lagu tidak bisa hanya disusun dengan satu tangga nada, melainkan bersatu dengan tannga nada lainnya. Tetapi dalam kehidupan nyata, terkadang tidak semua perbedaan itu bisa disatukan. Jika perbedaan itu terlalu jauh, mungkin memang cintalah yang harus mengalah.


***Selesai***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Monolog

Lelayu Oleh: Ranti Alfiani Pertunjukan drama ini bertempat di sebuah ruangan sederhana, mirip kamar tidur namun tanpa tempat tidur dan lemari, maupun furniture yang lainnya. Sebuah ruang yang hanya berisi tikar dan sebuah kursi, meja dan beberapa aksesoris kamar, serta sebuah lonceng angin yang tergantung di sudut ruangan. Sebuah ruang yang tidak terlalu terang juga tidak terlalu gelap. SESEORANG DUDUK DENGAN RAUT WAJAH YANG LUSUH, SENYUMAN YANG HAMBAR, SERTA KESEDIHAN YANG TERGANTUNG DI KEDUA KELOPAK MATANYA. Peristiwa kematian, berkabung, lelayu, atau apalah orang-orang menyebutnya selalu menimbulkan kesedihan yang mendalam. Saya tahu, tidak ada pertemuan yang abadi, kenanganlah yang kemudian menjelma sebagai sesuatu yang tampaknya abadi, namun tetap saja kenangan manusia terbatas pada kemampuan otak menyimpan peristiwa. Itulah mengapa perpisahan selalu menjadi sebuah kejadian yang selalu menyakitkan. Peristiwa yang berlalu, terekam, kemudian menjelma menjadi kenangan s...

Rasa Ini Lagi

 Ia masih saja menatap beku di daun jendela itu. Di luar, senja masih sedikit berkelebat pada ujung cakrawala. Kian menipis dan sedetik saja, mungkin sinar keemasan itu pun akan segera lenyap. Dan Ia, masih saja terpaku dengan keadaan. "Masih dengan kerinduan yang sama, andai saja aku bisa bercerita, dan kamu mendengarkan." katanya. Beberapa malam terakhir Ia mulai memimpikan Dia lagi. Sudah nyaris gila juga Ia mencoba untuk menangkis bayangan Dia dari hidupnya, dan sekarang Dia malah semakin lancang hadir dalam sadar dan setengah sadarnya. Bagaimana lagi? Rasa itu sudah semakin menjalar. Dan Ia sudah pasrah. Puncaknya adalah sore ini, ketika Ia melihat dia dengan kondisi yang tidak biasanya. Matanya sayu, dan wajahnya agak memerah. Namun Ia tak bisa mendekatinya atau sekedar menanyakan keadaannya. Ia merasa tidak punya hak, dan tidak punya kepentingan apa pun bagi Dia untuk menanyakan hal itu. Malam mulai melingkupi belahan bumi itu. Di daun jendela kamar...

Berharap di Batas Senja

Aku tidak pernah menyangka bahwa berharap adalah suatu hal yang teramat menyakitkan. Dulu aku kira dengan berharap, maka akan ada alasan untuk menemui hari esok yang lebih baik. Semacam janji untuk kehidupan yang lebih baik. Aku masih sama, menunggui senja seperti hari-hari sebelumnya. Entah sedih, entah sepi, entah tenang, aku hampir tak bisa membedakan antara semuanya. Karena tak ada senja yang sama lagi, tidak pernah ada. *** Sore itu kamu datang, dengan senyum yang seolah menawarkan persahabatan. Aku tidak pernah lupa waktu itu, kamu yang mengajariku menunggui senja. Kamu yang mengajariku mencintai senja, menyetubuhinya dengan hati dan rasa. Kamu, ya kamu. Tidak pernah ada kata diantara aku, kamu dan senja. Kita hanya datang setiap sore, tertunduk, sama-sama bercerita lewat rasa yang dibawa oleh udara senja. Bercerita dengan diam. Berdua, ya, aku dan kamu. Meski tidak pernah ada kata, kita sama-sama tahu; kehidupan pelik masing-masing. Lewat senja ha...